''Jangan sekadar memutar, berdoa, dan berkeringat. Jadilah seolah Siti Hajar, lalu rasakan dan endapkan dalam dirimu spiritnya," pesan seorang sahabat melalui pesan singkatnya, beberapa hari menjelang keberangkatan saya ke Tanah Suci. Yang dia pesankan, bukan tentang ritual wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, atau melontar jumrah di Mina. Dia menekankan pada thawaf dan sai, atau rangkaian setelah lepas dari prosesi Arafah-Muzdalifah-Mina (Armina).
Mengapa Siti Hajar? Ibadah haji sesungguhnya adalah ritual yang dilakukan untuk menapak tilas dan memperingati kebesaran Nabi Ibrahim AS beserta Hajar, istrinya dan Ismail AS, anak mereka. Lebih sempit lagi, adalah penghargaan bagi Hajar, budak hitam asal Ethiopia yang menjadi istri manusia agung, Ibrahim AS, dan ibu dari anak yang berbakti, Ismail AS.
Hajar, seperti disebut pada banyak literatur, adalah simbol wanita yang teralienasi lingkungan sosialnya. Ia seorang manusia yang ditolak oleh sistem sosial di zamannya, tanpa kelas, hidup mengelana jauh dari negeri asalnya, dan sebatang kara. Ia perempuan hitam, simbol manusia kasta terendah pada eranya. Dia seorang asing yang terbuang dan dibenci.
Spirit Hajar adalah spirit perlawanan terhadap segala sekat yang membatasi dan mengungkung dirinya. Dia ibu baru Ismail adalah anak pertamanya yang tiba-tiba harus menjadi single parent di padang pasir yang tandus pula. Tak ada makanan dan pepohonan untuk berteduh. Hanya ada sekantong air yang mulai menipis, bahkan habis tak lama setelah kedatangannya, dan bayi merah buah cintanya bersama Ibrahim AS.
Perintah Allah membuat Ibrahim meninggalkannya bersama Ismail AS di sebuah lembah tandus tak berpenghuni bernama Bakkah atau Makkah. Satu-satunya 'tetangga'nya saat itu adalah sisa-sisa pondasi yang diyakini sebagai Rumah Tuhan, Baitullah.
Hajar ikhlas menerima takdirnya, tapi tidak lantas menjadi cengeng dan mengasihani diri sendiri. Ia tidak duduk termangu, menangis, dan menghujat Tuhannya. Atau mentangmentang merasa dicintai Tuhannya, maka diam terpaku menunggu keajaiban turun dari langit. Tidak demikian, saudara.
Cintanya pada Allah membawanya pasrah pada kehendak-Nya yang mutlak, tapi tanggung jawabnya sebagai ibu membuatnya harus melakukan satu langkah untuk menyelamatkan diri. Dan terlebih, anak yang menjadi titipan Tuhannya.
Maka ia berlari mencari air, sumber hidup. Benda ini sungguh menjadi barang mewah di tengah padang pasir yang tandus. Tangis bayinya menyemangati langkah bergegas kakinya.
Hingga tak sadar, ia bolak balik pada rute yang sama antara Bukit Shafa dan Marwah hanya demi menemukan setitik air. Dia dahaga, bayinya pun juga. Air susunya telah lama mengering.
Pada putaran ketujuh, ia lelah. Bayinya masih meronta. Tiba-tiba dia mendengar suara gemuruh dari lembah tempat dia meninggalkan Ismail.
Dia berlari menuju anaknya, dan mendapati mata air memancar dekat buah hatinya berbaring. Ia berteriak penuh suka cita, Zummi, zummi! (berkumpullah air, berkumpul!) Di lembah gersang itu, Allah mengirimkan sumber kehidupan; air. Kelak kemudian hari, pancaran air itu menjadi sebuah sumur yang mata air-nya tak pernah kering hingga hari ini, sumur Zamzam.
Melalui Hajar, Allah seolah menyodorkan bukti bahwa sekat sosial dan gender tak ada artinya. Iman dan ketakwaan, lebih di atas segalanya. Dari seorang budak hitam, lahirlah seorang mulia. Berkat Hajar pula, lembah sunyi Bekkah menjelma menjadi sebuah kota. Budak perempuan Ethiopia itu menjadi titik mula sebuah peradaban!
Saya mengamini apa yang diungkapkan Saparinah Sadli, salah satu pendiri Komnas Perempuan, tentang Hajar. Menurutnya, keteguhan hati Siti Hajar merupakan contoh bagaimana dalam kondisi menghadapi kesulitan kehidupan, perempuan yang kerap dianggap "kurang" dibandingkan dengan laki-laki ternyata mampu bertahan dan mencari alternatif solusi, meski sendiri. Ia menjadi cermin tentang apa yang dilakukan perempuan sering kali dianggap biasa meskipun apa yang dilakukannya adalah luar biasa.
Hajar adalah sosok perempuan yang menerima keputusan Tuhan dan menghadapi cobaan hidup de ngan keteguhan hati luar biasa. Dia pejuang hak hidup manusia yang pa ling gigih yang pernah ada di zamannya.
Usai sai, saya kembali menengok ke arah Ka'bah. Kembali melihat Hijr Ismail yang penuh sesak dipadati jamaah yang melakukan shalat sunah. Pagar melengkung setinggi dada hampir tak terlihat. Di situlah perempuan luar biasa berabad lampau beristirahat dalam damai, di sisi rumah Tuhan-nya.
Ya Allah, berilah hamba hati dan semangat yang tak bertepi, seperti Hajar!
Siwi Tri Puji Budiwiyati
Republika-Jurnal Haji- Kabar dari Tanah suci-Rabu, 09 Desember 2009
Mengapa Siti Hajar? Ibadah haji sesungguhnya adalah ritual yang dilakukan untuk menapak tilas dan memperingati kebesaran Nabi Ibrahim AS beserta Hajar, istrinya dan Ismail AS, anak mereka. Lebih sempit lagi, adalah penghargaan bagi Hajar, budak hitam asal Ethiopia yang menjadi istri manusia agung, Ibrahim AS, dan ibu dari anak yang berbakti, Ismail AS.
Hajar, seperti disebut pada banyak literatur, adalah simbol wanita yang teralienasi lingkungan sosialnya. Ia seorang manusia yang ditolak oleh sistem sosial di zamannya, tanpa kelas, hidup mengelana jauh dari negeri asalnya, dan sebatang kara. Ia perempuan hitam, simbol manusia kasta terendah pada eranya. Dia seorang asing yang terbuang dan dibenci.
Spirit Hajar adalah spirit perlawanan terhadap segala sekat yang membatasi dan mengungkung dirinya. Dia ibu baru Ismail adalah anak pertamanya yang tiba-tiba harus menjadi single parent di padang pasir yang tandus pula. Tak ada makanan dan pepohonan untuk berteduh. Hanya ada sekantong air yang mulai menipis, bahkan habis tak lama setelah kedatangannya, dan bayi merah buah cintanya bersama Ibrahim AS.
Perintah Allah membuat Ibrahim meninggalkannya bersama Ismail AS di sebuah lembah tandus tak berpenghuni bernama Bakkah atau Makkah. Satu-satunya 'tetangga'nya saat itu adalah sisa-sisa pondasi yang diyakini sebagai Rumah Tuhan, Baitullah.
Hajar ikhlas menerima takdirnya, tapi tidak lantas menjadi cengeng dan mengasihani diri sendiri. Ia tidak duduk termangu, menangis, dan menghujat Tuhannya. Atau mentangmentang merasa dicintai Tuhannya, maka diam terpaku menunggu keajaiban turun dari langit. Tidak demikian, saudara.
Cintanya pada Allah membawanya pasrah pada kehendak-Nya yang mutlak, tapi tanggung jawabnya sebagai ibu membuatnya harus melakukan satu langkah untuk menyelamatkan diri. Dan terlebih, anak yang menjadi titipan Tuhannya.
Maka ia berlari mencari air, sumber hidup. Benda ini sungguh menjadi barang mewah di tengah padang pasir yang tandus. Tangis bayinya menyemangati langkah bergegas kakinya.
Hingga tak sadar, ia bolak balik pada rute yang sama antara Bukit Shafa dan Marwah hanya demi menemukan setitik air. Dia dahaga, bayinya pun juga. Air susunya telah lama mengering.
Pada putaran ketujuh, ia lelah. Bayinya masih meronta. Tiba-tiba dia mendengar suara gemuruh dari lembah tempat dia meninggalkan Ismail.
Dia berlari menuju anaknya, dan mendapati mata air memancar dekat buah hatinya berbaring. Ia berteriak penuh suka cita, Zummi, zummi! (berkumpullah air, berkumpul!) Di lembah gersang itu, Allah mengirimkan sumber kehidupan; air. Kelak kemudian hari, pancaran air itu menjadi sebuah sumur yang mata air-nya tak pernah kering hingga hari ini, sumur Zamzam.
Melalui Hajar, Allah seolah menyodorkan bukti bahwa sekat sosial dan gender tak ada artinya. Iman dan ketakwaan, lebih di atas segalanya. Dari seorang budak hitam, lahirlah seorang mulia. Berkat Hajar pula, lembah sunyi Bekkah menjelma menjadi sebuah kota. Budak perempuan Ethiopia itu menjadi titik mula sebuah peradaban!
Saya mengamini apa yang diungkapkan Saparinah Sadli, salah satu pendiri Komnas Perempuan, tentang Hajar. Menurutnya, keteguhan hati Siti Hajar merupakan contoh bagaimana dalam kondisi menghadapi kesulitan kehidupan, perempuan yang kerap dianggap "kurang" dibandingkan dengan laki-laki ternyata mampu bertahan dan mencari alternatif solusi, meski sendiri. Ia menjadi cermin tentang apa yang dilakukan perempuan sering kali dianggap biasa meskipun apa yang dilakukannya adalah luar biasa.
Hajar adalah sosok perempuan yang menerima keputusan Tuhan dan menghadapi cobaan hidup de ngan keteguhan hati luar biasa. Dia pejuang hak hidup manusia yang pa ling gigih yang pernah ada di zamannya.
Usai sai, saya kembali menengok ke arah Ka'bah. Kembali melihat Hijr Ismail yang penuh sesak dipadati jamaah yang melakukan shalat sunah. Pagar melengkung setinggi dada hampir tak terlihat. Di situlah perempuan luar biasa berabad lampau beristirahat dalam damai, di sisi rumah Tuhan-nya.
Ya Allah, berilah hamba hati dan semangat yang tak bertepi, seperti Hajar!
Siwi Tri Puji Budiwiyati
Republika-Jurnal Haji- Kabar dari Tanah suci-Rabu, 09 Desember 2009
No comments:
Post a Comment